Senin, 02 November 2009

Pesta Blogger 2009

Pesta Blogger 2009: Membuat Sebuah Gerakan Online

“Tidak perlu berpanas-panas ikut demonstrasi kalau ingin menyampaikan suara!”

Barangkali itu adalaha salah satu tujuan diadakannya gerakan online. Apa yang sebenarnya dimaksud gerakan online? Gerakan online adalah sebuah gerakan yang dibuat secara online (melalui internet) yang bertujuan untuk meraih simpati orang agar mengikuti apa yang menjadi tujuan gerakan tersebut. Gerakan online atau online activism (OA) ini biasanya berbentuk sebuah gerakan sosial. Gerakan sosialnya sendiri bermacam-macam pula, seperti penggalangan dana untuk membantu kelangsungan pendidikan anak-anak, membantu korban bencana alam, gerakan yang menolak tayangan acara-acara televisi yang tidak mendidik, gerakan anti illegal logging, dan berbagai kegiatan lain. Gerakan online ada juga yang bersifat lokal, seperti menolak komersialisasi sebuah kawasan yang dianggap mengganggu keaslian wilayah tersebut, atau untuk di Riau sendiri,bisa saja muncul sebuah gerakan yang bertujuan “mengusir” PLN dari Riau karena dianggap sangat tidak professional.

OA bisa juga dibentuk oleh perorangan atau individu dan juga bisa dilakukan oleh sebuah kelompok. Intinya, gerakan ini mencoba meyakinkan dan meraih simpati orang agar ikut menjadi simpatisan gerakannya. Fasilitas yang biasanya dimanfaatkan untuk aktivitas ini pun bermacam-macam, seperti Facebook, blog, twitter, milis grup, dll. Dalam aktivitasnya, para pencetus gerakan ini akan mengeluarkan berbagai opini maupun data-data dan fakta yang bisa mendukung pergerakan mereka.

Dari sebuah diskusi singkat dalam sesi break out di Pesta Blogger 2009, nara sumber yang terdiri dari Raditya Dika (penulis), Novariyanti Yusuf (Psikiater/anggota DPR), dan dimoderatori oleh Enda Nasution, dipaparkan beberapa hal yang sangat bermanfaat bagi kita yang ingin melakukan atau membuat sebuah gerakan online.

Pertama, agar gerakan kita mendapat perhatian dari khalayak, yang paling penting adalah bagaimana kita mencari momen yang tepat untuk meluncurkan sebuah gerakan. Misalnya, dalam rangka hari Sumpah Pemuda seperti hari ini, Blogdetik dot com meluncurkan sebuah gerakan online yang diberi nama “Indonesia Satoe”. Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan kembali kita pada isi Sumpah Pemuda yang diikrarkan oleh para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 lalu. Gerakan itu muncul atas keprihatinan terhadap generasi muda yang lupa akan isi dari Sumpah Pemuda itu. (selengkapnya di sini)

Kembali ke pembahasan tentang Gerakan Online. Yang kedua, yang perlu diperhatikan agar gerakan online tersebut mendapat perhatian dan simpati dari khalayak adalah pemilihan khalayak yang ingin dituju. Misalnya kalau tadi saya menyebutkan tentang gerakan mengusir PLN dari Riau, kalau saya mencari simpati dari orang yang berada di Papua, tentu salah target. Karena bisa saja orang di Papua tidak merasakan penderitaan masyarakat Riau atas krisis listrik yang terjadi saat ini. Contoh lain, kalau saya ingin membuat gerakan menolak semua tayangan iklan, saya gak mungkin minta simpati dari mas Iman Brotoseno yang notabene adalah ketua Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia (APFFI) hehe.. Dan banyak contoh lainnya. Intinya, sesuaikan carilah khalayak yang memiliki kesamaan nasib atau kesamaan ketertarikan terhadap sebuah masalah.

Ketiga, yakinkanlah khalayak yang ingin anda rekrut dengan berbagai opini serta data dan fakta yang benar-benar meyakinkan. Tapi ingat, jangan membuat data-data palsu atau opini-opini yang merugikan/mencemarkan nama baik orang atau lembaga lain. Karena, bisa saja anda akan dianggap sebagai provokator atau orang yang mencemarkan nama baik. Aturan yang jelas tentang pencemaran nama baik ini sepertinya masih sangat rancu di negeri kita. Anda tentu masih ingat dengan kasus yang menimpa ibu Prita Mulyasari. Karena itu, sebaiknya pertimbangkan baik=-baik apakah gerakan anda itu gerakan provokatif atau tidak. Sekali lagi anda harus berhati-hati dengan hal ini. Kalau sudah yakin dan tidak takut dengan dampak yang akan muncul setelah membuat gerakan tersebut, silahkan anda memulainya.

Yang keempat, buatlah suatu rencana yang matang tentang bagaimana melaksanakan gerakan tersebut. Baik dari sisi strategi meraih simpati maupun fasilitas yang digunakan (blog, microblogging, jejaring sosial, dll). beberapa tips yang bisa anda coba diantaranya; mendapatkan simpati dari orang-orang yang memiliki pengaruh kuat atau memiliki khalayak tersendiri yang akan mengikut apabila orang yang berpengaruh ini melakukan sesuatu. Anda juga bisa melibatkan khalayak untuk berdiskusi atau memberikan tanggapan terhadap permasalahan yang sedang anda angkat. Dan banyak tips lagi yang bisa anda dapatkan dari orang-orang yang sukses melaksanakan gerakan online.

Kelima, jika ingin sukses melakukan sebuah gerakan online, jaga semangat anda agar tidak mudah menyerah. Karena melakukan gerakan online akan mendapat banyak rintangan dan hambatan. Apabila anda menyerah karena mendapat suatu rintangan atau hambatan, maka gerakan anda akan melemah, dan para pengikut gerakan anda akan hilang dengan sendirinya. Selalu menjaga agar permasalahan yang anda angkat tetap update juga sangat penting untuk menjaga loyalitas para pengikut anda. Selalu mengupdate informasi yang berkaitan dengan masalah yang anda angkat adalah kunci untuk menjaga gerakan anda tetap hidup hingga tujuannya tercapai.

Apa yang saya sampaikan di atas adalah rangkuman (yang saya dapat) dari sesi Break Out Pesta Blogger 2009 dengan tema Online Activism. Ini adalah “oleh-oleh” yang bisa saya berikan bagi teman-teman di komunitas blogger Bertuah Pekanbaru. Mungkin banyak kekurangannya, jadi silahkan kita berdiskusi melalui kotak komentar di bawah ini.

Terakhir, saya ingin mengucapkan:

SELAMAT HARI NARABLOG NASIONAL KE-3

27 Oktober 2007 – 27 Oktober 2009

Maju Terus Narablog Indonesia! Satu Semangat, Satu Bangsa, Untuk Indonesia yang Lebih Baik


SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA KE-81

28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2009

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, INDONESIA!

Sejarah kota surabaya dan peradabannya

Sejarah Kota
October 7th, 2008 at 12:04am
Sebelum kedatangan Belanda

Surabaya dulunya merupakan gerbang Kerajaan Majapahit, yakni di muara Kali Mas. Bahkan hari jadi Kota Surabaya ditetapkan sebagai tanggal 31 Mei 1293. Hari itu sebenarnya merupakan hari kemenangan pasukan Majapahit yang dipimpin Raden Wijaya terhadap pasukan kerajaan Mongol utusan Kubilai Khan. Pasukan Mongol yang datang dari laut digambarkan sebagai BOYO (buaya/bahaya)dan pasukan Raden Wijaya yang datang dari darat digambarkan sebagai ikan SURO (ikan hiu/berani), jadi secara harfiah diartikan berani menghadapi bahaya yang datang mengancam. Maka hari kemenangan itu diperingati sebagai hari jadi Surabaya.

Pada abad ke-15, Islam mulai menyebar dengan pesat di daerah Surabaya. Salah satu anggota wali sanga, Sunan Ampel, mendirikan masjid dan pesantren di daerah Ampel. Tahun 1530, Surabaya menjadi bagian dari Kesultanan Demak.

Menyusul runtuhnya Demak, Surabaya menjadi sasaran penaklukan Kesultanan Mataram: diserbu Panembahan Senopati tahun 1598, diserang besar-besaran oleh Panembahan Seda ing Krapyak tahun 1610, diserang Sultan Agung tahun 1614. Pemblokan aliran Sungai Brantas oleh Sultan Agung akhirnya memaksa Surabaya menyerah. Tahun 1675, Trunojoyo dari Madura merebut Surabaya, namun akhirnya didepak VOC pada tahun 1677.

Dalam perjanjian antara Paku Buwono II dan VOC pada tanggal 11 November 1743, Surabaya diserahkan penguasaannya kepada VOC.
Zaman Hindia-Belanda

Peta Surabaya dari buku panduan perjalanan dari Inggris tahun 1897

Pada zaman Hindia-Belanda, Surabaya berstatus sebagai ibukota Karesidenan Surabaya, yang wilayahnya juga mencakup daerah yang kini wilayah Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Pada tahun 1905, Surabaya mendapat status kotamadya (Gemeente). Pada tahun 1926, Surabaya ditetapkan sebagai ibukota provinsi Jawa Timur. Sejak itu Surabaya berkembang menjadi kota modern terbesar kedua di Hindia-Belanda setelah Batavia.

Sebelum tahun 1900, pusat kota Surabaya hanya berkisar di sekitar Jembatan Merah saja. Sampai tahun 1920-an, tumbuh pemukiman baru seperti daerah Darmo, Gubeng, Sawahan, dan Ketabang. Pada tahun 1917 dibangun fasilitas pelabuhan modern di Surabaya.

Tanggal 3 Februari 1942, Jepang menjatuhkan bom di Surabaya. Pada bulan Maret 1942, Jepang berhasil merebut Surabaya. Surabaya kemudian menjadi sasaran serangan udara Sekutu pada tanggal 17 Mei 1944.
Pertempuran mempertahankan Surabaya

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Peristiwa 10 November

Tentara Britania menembaki ‘sniper‘ dalam pertempuran di Surabaya

Setelah Perang Dunia II usai, pada 25 Oktober 1945, 6000 pasukan Inggris-India yaitu Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby mendarat di Surabaya dengan perintah utama melucuti tentara Jepang, tentara dan milisi Indonesia. Mereka juga bertugas mengurus bekas tawanan perang dan memulangkan tentara Jepang. Pasukan Jepang menyerahkan semua senjata mereka, tetapi milisi dan lebih dari 20000 pasukan Indonesia menolak.

26 Oktober 1945, tercapai persetujuan antara Bapak Suryo, Gubernur Jawa Timur dengan Brigjen Mallaby bahwa pasukan Indonesia dan milisi tidak harus menyerahkan senjata mereka. Sayangnya terjadi salah pengertian antara pasukan Inggris di Surabaya dengan markas tentara Inggris di Jakarta yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison.

27 Oktober 1945, jam 11.00 siang, pesawat Dakota AU Inggris dari Jakarta menjatuhkan selebaran di Surabaya yang memerintahkan semua tentara Indonesia dan milisi untuk menyerahkan senjata. Para pimpinan tentara dan milisi Indonesia marah waktu membaca selebaran ini dan menganggap Brigjen Mallaby tidak menepati perjanjian tanggal 26 Oktober 1945.

28 Oktober 1945, pasukan Indonesia dan milisi menggempur pasukan Inggris di Surabaya. Untuk menghindari kekalahan di Surabaya, Brigjen Mallaby meminta agar Presiden RI Soekarno dan panglima pasukan Inggris Divisi 23, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk pergi ke Surabaya dan mengusahakan perdamaian.

29 Oktober 1945, Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap bersama Mayjen Hawthorn pergi ke Surabaya untuk berunding.

Pada siang hari, 30 Oktober 1945, dicapai persetujuan yang ditanda-tangani oleh Presiden RI Soekarno dan Panglima Divisi 23 Mayjen Hawthorn. Isi perjanjian tersebut adalah diadakan perhentian tembak menembak dan pasukan Inggris akan ditarik mundur dari Surabaya secepatnya. Mayjen Hawthorn dan ke 3 pimpinan RI meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta.

Pada sore hari, 30 Oktober 1945, Brigjen Mallaby berkeliling ke berbagai pos pasukan Inggris di Surabaya untuk memberitahukan soal persetujuan tersebut. Saat mendekati pos pasukan Inggris di gedung Internatio, dekat Jembatan merah, mobil Brigjen Mallaby dikepung oleh milisi yang sebelumnya telah mengepung gedung Internatio.

Karena mengira komandannya akan diserang oleh milisi, pasukan Inggris kompi D yang dipimpin Mayor Venu K. Gopal melepaskan tembakan ke atas untuk membubarkan para milisi. Para milisi mengira mereka diserang / ditembaki tentara Inggris dari dalam gedung Internatio dan balas menembak. Seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith melemparkan granat ke arah milisi Indonesia, tetapi meleset dan malah jatuh tepat di mobil Brigjen Mallaby.

Granat meledak dan mobil terbakar. Akibatnya Brigjen Mallaby dan sopirnya tewas. Laporan awal yang diberikan pasukan Inggris di Surabaya ke markas besar pasukan Inggris di Jakarta menyebutkan Brigjen Mallaby tewas ditembak oleh milisi Indonesia.

Letjen Sir Philip Christison marah besar mendengar kabar kematian Brigjen Mallaby dan mengerahkan 24000 pasukan tambahan untuk menguasai Surabaya.

9 November 1945, Inggris menyebarkan ultimatum agar semua senjata tentara Indonesia dan milisi segera diserahkan ke tentara Inggris, tetapi ultimatum ini tidak diindahkan.

10 November 1945, Inggris mulai membom Surabaya dan perang sengit berlangsung terus menerus selama 10 hari. Dua pesawat Inggris ditembak jatuh pasukan RI dan salah seorang penumpang Brigadir Jendral Robert Guy Loder-Symonds terluka parah dan meninggal keesokan harinya.

20 November 1945, Inggris berhasil menguasai Surabaya dengan korban ribuan orang prajurit tewas. Lebih dari 20000 tentara Indonesia, milisi dan penduduk Surabaya tewas. Seluruh kota Surabaya hancur lebur.

Pertempuran ini merupakan salah satu pertempuran paling berdarah yang dialami pasukan Inggris pada dekade 1940an. Pertempuran ini menunjukkan kesungguhan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah.

Karena sengitnya pertempuran dan besarnya korban jiwa, setelah pertempuran ini, jumlah pasukan Inggris di Indonesia mulai dikurangi secara bertahap dan digantikan oleh pasukan Belanda. Pertempuran tanggal 10 November 1945 tersebut hingga sekarang dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sejarah hotel DI DUNIA

HOTEL DES INDES


Banyak orang menganggap Hotel des Indes sejajar dengan Hotel Raffles di
Singapura. Hanya bedanya, Hotel Raffles tetap lestari hingga sekarang dan
menjadi pilihan utama tamu-tamu eksklusifnya. Seperti halnya Gedung Harmonie,
peranan Hotel des Indes dalam sejarah kolonial amat besar. Perundingan
Indonesia-Belanda pernah beberapa kali diadakan di sini.

Bagian hotel yang dianggap tertua adalah dependance atau paviliun sebelah
selatan yang biasanya dipakai untuk resepsi atau pameran. Sebelum menjadi
paviliun, bangunan itu merupakan rumah peristirahatan Moenswijk. Berasal dari
nama pemilik pertama gedung itu, Adriaan Moens, pejabat VOC yang kaya raya.


Sebagian besar tanah hotel merupakan milik Reinier de Klerk. Pada tahun 1774
Klerk menjual tanah dan rumah di atasnya kepada C Postmans. Pada tahun 1778
beralih lagi kepada pemilik baru, keluarga GJ van der Parra. Setelah beberapa
kali berganti pemilik, pada tahun 1824 rumah itu dibeli oleh pemerintah dari DJ
Papet.

Selanjutnya pada tahun 1828 rumah itu dibeli oleh dua pengusaha perhotelan
Prancis, A Chaulan dan JJ Didero. Awalnya, bekas rumah tadi dijadikan Hotel
Chaulan, kemudian Hotel de Provence (1835). Manajemen baru di bawah pimpinan C
Denninghoff menggantinya menjadi Hotel Rotterdamsch (1854).

Hotel des Indes diresmikan pada 1 Mei 1856. Pada tahun 1888 hotel itu beralih
ke pemilik baru, Jacob Lugt. Lugt mulai memperluas hotel secara besar-besaran
dengan membeli tanah-tanah di sekitarnya. Namun, karena terlalu berani
berspekulasi, Lugt kesulitan keuangan (1897).
Sejak itu Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas dan mulai dilakukan
perluasan. Pada tahun 1930-an sampai 1950-an Hotel des Indes merupakan hotel
mewah di Jakarta. Peranannya semakin menurun ketika Pemerintah Indonesia
mengambil alih hotel tersebut dan mengganti namanya menjadi Hotel Duta
Indonesia.

Ketika itu hotel berfungsi menampung pegawai negeri yang tidak memperoleh
perumahan. Setelah itu namanya semakin tenggelam, terlebih ketika berdiri Hotel
Indonesia di pusat kota Jakarta.

Sejarah hotel ini dimulai tahun 1828, ketika dua kontraktor Prancis membeli
persil tanah Moenswijk yang kala itu merupakan salah satu rumah peristirahatan
'jauh' di luar kota. Moenswijk berasal dari nama pemilik pertamanya, Adriaan
Moens, seorang direktur jenderal VOC kaya raya. Dua pengusaha Prancis itu
bernama Surleon Antoine Chaulan dan JJ Didero. Nama Chaulan kemudian diabadikan
untuk nama Jl Kemakmuran yang berdekatan dengan hotel tersebut. Dan kini menjadi
Jl Hasyim Ashari, itu pendiri NU kakeknya Gus Dur.

Hotel des Indes, mula-mula dikenal dengan Hotel Chaulan, kemudian Hotel de
Provence (1835) untuk menghormati daerah pemiliknya. Kemudian Rotterdamsch Hotel (1854). Nama Hotel des Indes yang membawanya ke puncak ketenaran diresmikan 1 Mei 1856. Menurut Dr de Haan, penulis buku Oud Batavia nama baru itu merupakan kasak kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel.

Pada abad ke-18 dan 19 banyak orang kaya terutama para pejabat Kompeni yang
membangun rumah-rumah peristirahatan (landhuis) disepanjang Molenvliet. Termasuk
rumah peristirahatan Reinier de Klerek (sekarang Gedung Arsip Nasional) yang
letaknya tidak lebih tiga kilometer dari Glodok. Kala itu, untuk menempuh jarak
tersebut dari pusat kota (Pasar Ikan) ditempuh selama tiga jam dengan kereta
kuda.

Ketika penyerahan kedaulatan, Bung Karno mengganti nama Hotel des Indes jadi
Hotel Duta Indonesian (HDI). Hotel ini pada masa akhir pendudukan Jepang, pernah
menjadi tempat menginap para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), yang dalam sidangnya pada 18 Agustus 1945 di Pejambon, menetapkan UUD
1945, memilih Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Di samping terkenal dengan makanannya terutama rijstafel dan berbagai masakan
Eropa lainnya, hotel setiap malam menampilkan artis tahun 1950-an dan 60-an
dalam berbagai acara hiburan. Pada tahun tersebut, beberapa diplomat asing yang
menghadapi kesulitan perumahan di Jakarta, tinggal dan berkantor di Hotel des
Indes.

Hotel ini letaknya berdekatan dengan gedung BTN dan Jl Jaga Monyet (kini Jl
Suryopranoto). Dulu di sini terdapat benteng penjagaan. Konon, karena lebih
sering menjaga monyet-monyet yang berkeliaran katimbang musuh, dinamakan Jaga
Monyet.

Maklum pada abad ke-18 daerah ini masih hutan belukar. Banyak yang
menyayangkan kenapa nama Jaga Monyet diganti. Sampai kini mereka yang berusia
lanjut lebih masih mengenal Jaga Monyet katimbang Jl Suryopranoto.

Gambar gambar: http://www.rendez-vous-batavia.nl/roads/hotel-indes/

JAKARTA, KENANGAN MASA LALU

Ratusan gedung dan lokasi bersejarah yang dulu menjadi ciri kota Jakarta kini telah lenyap. Sejarah kebudayaan dan proses pembentukan bangsa kita sendiri pun mulai terlupakan.

Manakala goa-goa prasejarah di Teluk Banten dihancurkan untuk landasan bandar udara dan perluasan kawasan industri, Gedung Harmoni Jakarta diratakan dengan tanah untuk dijadikan jalan. Dalam waktu yang hampir bersamaan Hotel Des Indes juga diruntuhkan untuk supermarket, kemudian Gedung Candranaya disapu untuk kawasan bisnis, situs-situs sepanjang DAS Ciliwung dilumatkan untuk perluasan kawasan industri dan pemukiman, dan Situ Gintung di Ciputat ditimbun menjadi pemukiman. Terakhir, situs prasasti Batu Tulis Bogor diacak-acak untuk mencari harta karun. Maka makin terasa pula negeri ini mulai berangsur melupakan sejarah masa lalunya.

Keadaan ini agaknya bisa dianggap sebagai pencerminan dari suatu jurang dilematis, mana yang harus mendapat priorotas: Pembangunan ataukah pelestarian budaya? Atau, bagaimana keduanya bisa dilakukan secara simultan? Hari demi hari kita menyaksikan satu demi satu warisan budaya sebagai mata rantai masa lalu-masa kini-dan masa nanti lenyap demi kepentingan lahan perumahan, sarana jalan, industri, dan perkantoran.

Di mana pun, pembangunan fisik yang dilakukan manusia masa kini -- langsung atau tidak -- telah menyebabkan kerusakan, kehancuran, bahkan hilangnya data masa lalu. Padahal data itu justru merupakan prasyarat utama wahana untuk memahami masyarakat dan kebudayaan. Bilamana suatu situs peninggalan budaya masa lalu gagal dilestarikan, maka gagal pula upaya memahami jati diri dan dinamika sosial budaya sebuah bangsa.

Fenomena paling aktual bisa kita amati dari tata kota di Ibu Kota Jakarta yang kian hari kian meminggirkan gedung-gedung warisan budaya. Gedung-gedung kuno dan bersejarah itu makin terjepit di antara gedung-gedung modern yang menjulang tinggi hampir di setiap sudut Jakarta.

Padahal bangsa-bangsa Eropa -- seperti Inggris, Prancis, dan Rumania -- sangat menjaga gedung-gedung kuno dan menjadikan lokasi tersebut sebagai kawasan wisata budaya. Sebenarnya, jika Pemda DKI sedikit jeli dan mau peduli, Jakarta sangat berpeluang memiliki kawasan ataupun kompleks gedung-gedung kuno. Agaknya kita tak perlu malu belajar dari pemerintah kolonial Belanda. Dari pemetaan yang ditulis A Heuken SJ pada 1809, tempat-tempat bersejarah di dalam kota dan daerah sekitarnya kala itu dibatasi dengan tembok keliling untuk menjaga kelestariannya.
Tempat-tempat bersejarah itu antara lain, Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara nomor 27 Jakarta Barat, yang didirikan VOC pada 1640 dengan nama de oude Hollandsche Kerk . Tujuan pendirian gedung itu untuk melayani kebutuhan beribadah penduduk sipil Eropa dan tentara Belanda yang tinggal di Batavia (nama Jakarta tempo dulu).

Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara, yang dibangun sejak 1718 dengan sebutan gedung Westzidsche Pakhuizen sebagai gudang rempah-rempah. Museum Sejarah Jakarta di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta Barat, yang dibangun sejak 1620 oleh JP Coen dengan nama awal Stadhuis . Museum Seni Rupa dan Keramik di Jalan Kantor Pos Kota, Jakarta Barat, yang dibangun pada 1870 dengan nama Raad van Justitie atau Dewan Kehakiman masa pemerintahan Belanda. Gedung Istana Negara di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, yang dibangun pada 1873.

Gedung bersejarah lainnya adalah Gedung SMA Negeri II di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, Gedung Balai Kota, Gedung PLN di Jalan Ikhwan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, Gedung Antara di Jalan Pos Utara, Jakarta Pusat, Gedung Kantor Pos dan Giro di Jalan Pos, Jakarta Pusat, Gedung Kesenian Jakarta di Jalan Pos Jakarta Pusat, Gedung Mahkamah Agung di Lapangan Banteng Timur Jakarta Pusat, Gedung Ditjen Perhubungan Laut di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Museum Joang '45 di Menteng Raya, Jakarta Pusat, dan Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang, Jakarta Pusat.Tentu masih banyak bangunan-bangunan bersejarah lainnya -- seperti masjid, makam kuno, dan klenteng kuno yang tidak bisa disebutkan satu persatu di sini.

Sayangnya, puluhan -- bahkan ratusan -- gedung dan lokasi bersejarah itu saat ini tidak seluruhnya dikelola dengan memadai, malah tak sedikit yang tak terawat. Padahal sejak zaman presiden RI yang pertama, Soekarno, peninggalan bersejarah di Jakarta itu masih terawat. Bahkan dia masih mempertahankan tata kota yang sangat melayani publik dengan baik.

Tata Kota Jakarta yang cukup membanggakan dari zaman Soekarno bisa dilihat di area sekitar Monumen Nasional (Monas). Di lokasi itu tersebar konsep tata kota yang hampir mirip dengan lokasi tata kota sejak perkembangan Islam masuk di Indonesia, yakni di area Monas dan Lapangan Merdeka yang menyerupai alun-alun sebagai sarana publik berkumpul, di sisi timur laut terdapat Mesjid Istiqlal dan Gereja Katedral sebagai pusat peribadatan, di sisi barat laut terletak Istana Negara sebagai pusat pemerintahan, dan agak jauh ke sisi timur terdapat pusat keramaian dan perbelanjaan yakni, Pasar Senen.

Tata kota yang masih asli mudah dikenal pada denah kota-kota kraton kuno di Jawa dan terus berkembang di masa perkembangan Islam. Yaitu, alun-alun yang terletak di tengah-tengah kota, bangunan-bangunan terpenting didirikan secara tradisional dan jalan-jalan lurus berpotongan membentuk bujur sangkar. Letak kraton-kraton sebagai pusat pemerintahan mengarah ke sisi utara. Bangunan lain yang biasanya didirikan di sisi barat alun-alun adalah tempat peribadatan, yakni masjid. Ciri penting lainnya sebuah kota masa lalu adalah adanya pasar. Di dalam kota biasanya ada lebih dari satu pasar dan letaknya tidak selalu dekat alun-alun.

Tata kota seperti masa lalu ataupun minimal mendekati Kawasan Monas, agaknya kini mulai ditinggalkan para pemilik kebijakan. Monas pun kini mulai dipagari yang berakibat makin sempitnya ruang bagi publik untuk bersosialisasi. Tak heran jika kini di setiap sudut Jakarta sudah padat oleh pemukiman, kawasan bisnis, pasar kaget, kumuh, kotor, dan sedikit sekali taman yang benar-benar berfungsi sebagai taman.

Jakarta yang terletak di dataran rendah, yang hanya beberapa meter dari permukaan laut, setiap tahun juga selalu dilanda banjir hingga ke jalan-jalan protokol. Sejak zaman Kerajaan Tarumanegara, Jakarta memang sudah menjadi langganan banjir. Seperti yang tertera dalam Prasasti Tugu, Jakarta Utara, yang kini disimpan di Museum Sejarah DKI Jakarta. Kerajaan ini, dengan rajanya Purnawarman, telah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati Tangerang) sepanjang 12 km untuk menanggulangi banjir.

Yang membanggakan, mereka melakukan penggalian sekitar 16 abad silam. Kebijakan pemukiman didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologi. Mereka melindungi kawasan hutan lindung dan resapan air di Kapuk Muara. Bandingkan dengan beberapa kawasan resapan air di Jakarta Selatan yang menurut Pemda DKI terlarang untuk gedung-gedung bertingkat dan industri, namun kini telah berubah fungsi.

Jakarta sebagai kota yang dinamis dan metropolis memang harus berkembang. Jakarta memang mutlak memerlukan berbagai sarana dan prasarana modern. Termasuk mal, kondominium, pusat-pusat perdagangan, dan tentu saja perumahan, dan gedung bertingkat. Namun, jika peninggalan-peninggalan bersejarah mulai dilupakan, jangan kecewa apabila suatu saat nanti kita kesulitan merekonstruksi sejarah kebudayaan, cara-cara hidup masyarakat masa lalu, dan menggambarkan proses budaya bangsa kita sendiri.(endro yuwanto)