Senin, 02 November 2009

Sejarah hotel DI DUNIA

HOTEL DES INDES


Banyak orang menganggap Hotel des Indes sejajar dengan Hotel Raffles di
Singapura. Hanya bedanya, Hotel Raffles tetap lestari hingga sekarang dan
menjadi pilihan utama tamu-tamu eksklusifnya. Seperti halnya Gedung Harmonie,
peranan Hotel des Indes dalam sejarah kolonial amat besar. Perundingan
Indonesia-Belanda pernah beberapa kali diadakan di sini.

Bagian hotel yang dianggap tertua adalah dependance atau paviliun sebelah
selatan yang biasanya dipakai untuk resepsi atau pameran. Sebelum menjadi
paviliun, bangunan itu merupakan rumah peristirahatan Moenswijk. Berasal dari
nama pemilik pertama gedung itu, Adriaan Moens, pejabat VOC yang kaya raya.


Sebagian besar tanah hotel merupakan milik Reinier de Klerk. Pada tahun 1774
Klerk menjual tanah dan rumah di atasnya kepada C Postmans. Pada tahun 1778
beralih lagi kepada pemilik baru, keluarga GJ van der Parra. Setelah beberapa
kali berganti pemilik, pada tahun 1824 rumah itu dibeli oleh pemerintah dari DJ
Papet.

Selanjutnya pada tahun 1828 rumah itu dibeli oleh dua pengusaha perhotelan
Prancis, A Chaulan dan JJ Didero. Awalnya, bekas rumah tadi dijadikan Hotel
Chaulan, kemudian Hotel de Provence (1835). Manajemen baru di bawah pimpinan C
Denninghoff menggantinya menjadi Hotel Rotterdamsch (1854).

Hotel des Indes diresmikan pada 1 Mei 1856. Pada tahun 1888 hotel itu beralih
ke pemilik baru, Jacob Lugt. Lugt mulai memperluas hotel secara besar-besaran
dengan membeli tanah-tanah di sekitarnya. Namun, karena terlalu berani
berspekulasi, Lugt kesulitan keuangan (1897).
Sejak itu Hotel des Indes dijadikan perseroan terbatas dan mulai dilakukan
perluasan. Pada tahun 1930-an sampai 1950-an Hotel des Indes merupakan hotel
mewah di Jakarta. Peranannya semakin menurun ketika Pemerintah Indonesia
mengambil alih hotel tersebut dan mengganti namanya menjadi Hotel Duta
Indonesia.

Ketika itu hotel berfungsi menampung pegawai negeri yang tidak memperoleh
perumahan. Setelah itu namanya semakin tenggelam, terlebih ketika berdiri Hotel
Indonesia di pusat kota Jakarta.

Sejarah hotel ini dimulai tahun 1828, ketika dua kontraktor Prancis membeli
persil tanah Moenswijk yang kala itu merupakan salah satu rumah peristirahatan
'jauh' di luar kota. Moenswijk berasal dari nama pemilik pertamanya, Adriaan
Moens, seorang direktur jenderal VOC kaya raya. Dua pengusaha Prancis itu
bernama Surleon Antoine Chaulan dan JJ Didero. Nama Chaulan kemudian diabadikan
untuk nama Jl Kemakmuran yang berdekatan dengan hotel tersebut. Dan kini menjadi
Jl Hasyim Ashari, itu pendiri NU kakeknya Gus Dur.

Hotel des Indes, mula-mula dikenal dengan Hotel Chaulan, kemudian Hotel de
Provence (1835) untuk menghormati daerah pemiliknya. Kemudian Rotterdamsch Hotel (1854). Nama Hotel des Indes yang membawanya ke puncak ketenaran diresmikan 1 Mei 1856. Menurut Dr de Haan, penulis buku Oud Batavia nama baru itu merupakan kasak kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel.

Pada abad ke-18 dan 19 banyak orang kaya terutama para pejabat Kompeni yang
membangun rumah-rumah peristirahatan (landhuis) disepanjang Molenvliet. Termasuk
rumah peristirahatan Reinier de Klerek (sekarang Gedung Arsip Nasional) yang
letaknya tidak lebih tiga kilometer dari Glodok. Kala itu, untuk menempuh jarak
tersebut dari pusat kota (Pasar Ikan) ditempuh selama tiga jam dengan kereta
kuda.

Ketika penyerahan kedaulatan, Bung Karno mengganti nama Hotel des Indes jadi
Hotel Duta Indonesian (HDI). Hotel ini pada masa akhir pendudukan Jepang, pernah
menjadi tempat menginap para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), yang dalam sidangnya pada 18 Agustus 1945 di Pejambon, menetapkan UUD
1945, memilih Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Di samping terkenal dengan makanannya terutama rijstafel dan berbagai masakan
Eropa lainnya, hotel setiap malam menampilkan artis tahun 1950-an dan 60-an
dalam berbagai acara hiburan. Pada tahun tersebut, beberapa diplomat asing yang
menghadapi kesulitan perumahan di Jakarta, tinggal dan berkantor di Hotel des
Indes.

Hotel ini letaknya berdekatan dengan gedung BTN dan Jl Jaga Monyet (kini Jl
Suryopranoto). Dulu di sini terdapat benteng penjagaan. Konon, karena lebih
sering menjaga monyet-monyet yang berkeliaran katimbang musuh, dinamakan Jaga
Monyet.

Maklum pada abad ke-18 daerah ini masih hutan belukar. Banyak yang
menyayangkan kenapa nama Jaga Monyet diganti. Sampai kini mereka yang berusia
lanjut lebih masih mengenal Jaga Monyet katimbang Jl Suryopranoto.

Gambar gambar: http://www.rendez-vous-batavia.nl/roads/hotel-indes/

JAKARTA, KENANGAN MASA LALU

Ratusan gedung dan lokasi bersejarah yang dulu menjadi ciri kota Jakarta kini telah lenyap. Sejarah kebudayaan dan proses pembentukan bangsa kita sendiri pun mulai terlupakan.

Manakala goa-goa prasejarah di Teluk Banten dihancurkan untuk landasan bandar udara dan perluasan kawasan industri, Gedung Harmoni Jakarta diratakan dengan tanah untuk dijadikan jalan. Dalam waktu yang hampir bersamaan Hotel Des Indes juga diruntuhkan untuk supermarket, kemudian Gedung Candranaya disapu untuk kawasan bisnis, situs-situs sepanjang DAS Ciliwung dilumatkan untuk perluasan kawasan industri dan pemukiman, dan Situ Gintung di Ciputat ditimbun menjadi pemukiman. Terakhir, situs prasasti Batu Tulis Bogor diacak-acak untuk mencari harta karun. Maka makin terasa pula negeri ini mulai berangsur melupakan sejarah masa lalunya.

Keadaan ini agaknya bisa dianggap sebagai pencerminan dari suatu jurang dilematis, mana yang harus mendapat priorotas: Pembangunan ataukah pelestarian budaya? Atau, bagaimana keduanya bisa dilakukan secara simultan? Hari demi hari kita menyaksikan satu demi satu warisan budaya sebagai mata rantai masa lalu-masa kini-dan masa nanti lenyap demi kepentingan lahan perumahan, sarana jalan, industri, dan perkantoran.

Di mana pun, pembangunan fisik yang dilakukan manusia masa kini -- langsung atau tidak -- telah menyebabkan kerusakan, kehancuran, bahkan hilangnya data masa lalu. Padahal data itu justru merupakan prasyarat utama wahana untuk memahami masyarakat dan kebudayaan. Bilamana suatu situs peninggalan budaya masa lalu gagal dilestarikan, maka gagal pula upaya memahami jati diri dan dinamika sosial budaya sebuah bangsa.

Fenomena paling aktual bisa kita amati dari tata kota di Ibu Kota Jakarta yang kian hari kian meminggirkan gedung-gedung warisan budaya. Gedung-gedung kuno dan bersejarah itu makin terjepit di antara gedung-gedung modern yang menjulang tinggi hampir di setiap sudut Jakarta.

Padahal bangsa-bangsa Eropa -- seperti Inggris, Prancis, dan Rumania -- sangat menjaga gedung-gedung kuno dan menjadikan lokasi tersebut sebagai kawasan wisata budaya. Sebenarnya, jika Pemda DKI sedikit jeli dan mau peduli, Jakarta sangat berpeluang memiliki kawasan ataupun kompleks gedung-gedung kuno. Agaknya kita tak perlu malu belajar dari pemerintah kolonial Belanda. Dari pemetaan yang ditulis A Heuken SJ pada 1809, tempat-tempat bersejarah di dalam kota dan daerah sekitarnya kala itu dibatasi dengan tembok keliling untuk menjaga kelestariannya.
Tempat-tempat bersejarah itu antara lain, Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara nomor 27 Jakarta Barat, yang didirikan VOC pada 1640 dengan nama de oude Hollandsche Kerk . Tujuan pendirian gedung itu untuk melayani kebutuhan beribadah penduduk sipil Eropa dan tentara Belanda yang tinggal di Batavia (nama Jakarta tempo dulu).

Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara, yang dibangun sejak 1718 dengan sebutan gedung Westzidsche Pakhuizen sebagai gudang rempah-rempah. Museum Sejarah Jakarta di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta Barat, yang dibangun sejak 1620 oleh JP Coen dengan nama awal Stadhuis . Museum Seni Rupa dan Keramik di Jalan Kantor Pos Kota, Jakarta Barat, yang dibangun pada 1870 dengan nama Raad van Justitie atau Dewan Kehakiman masa pemerintahan Belanda. Gedung Istana Negara di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, yang dibangun pada 1873.

Gedung bersejarah lainnya adalah Gedung SMA Negeri II di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, Gedung Balai Kota, Gedung PLN di Jalan Ikhwan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, Gedung Antara di Jalan Pos Utara, Jakarta Pusat, Gedung Kantor Pos dan Giro di Jalan Pos, Jakarta Pusat, Gedung Kesenian Jakarta di Jalan Pos Jakarta Pusat, Gedung Mahkamah Agung di Lapangan Banteng Timur Jakarta Pusat, Gedung Ditjen Perhubungan Laut di Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Museum Joang '45 di Menteng Raya, Jakarta Pusat, dan Museum Taman Prasasti di Jalan Tanah Abang, Jakarta Pusat.Tentu masih banyak bangunan-bangunan bersejarah lainnya -- seperti masjid, makam kuno, dan klenteng kuno yang tidak bisa disebutkan satu persatu di sini.

Sayangnya, puluhan -- bahkan ratusan -- gedung dan lokasi bersejarah itu saat ini tidak seluruhnya dikelola dengan memadai, malah tak sedikit yang tak terawat. Padahal sejak zaman presiden RI yang pertama, Soekarno, peninggalan bersejarah di Jakarta itu masih terawat. Bahkan dia masih mempertahankan tata kota yang sangat melayani publik dengan baik.

Tata Kota Jakarta yang cukup membanggakan dari zaman Soekarno bisa dilihat di area sekitar Monumen Nasional (Monas). Di lokasi itu tersebar konsep tata kota yang hampir mirip dengan lokasi tata kota sejak perkembangan Islam masuk di Indonesia, yakni di area Monas dan Lapangan Merdeka yang menyerupai alun-alun sebagai sarana publik berkumpul, di sisi timur laut terdapat Mesjid Istiqlal dan Gereja Katedral sebagai pusat peribadatan, di sisi barat laut terletak Istana Negara sebagai pusat pemerintahan, dan agak jauh ke sisi timur terdapat pusat keramaian dan perbelanjaan yakni, Pasar Senen.

Tata kota yang masih asli mudah dikenal pada denah kota-kota kraton kuno di Jawa dan terus berkembang di masa perkembangan Islam. Yaitu, alun-alun yang terletak di tengah-tengah kota, bangunan-bangunan terpenting didirikan secara tradisional dan jalan-jalan lurus berpotongan membentuk bujur sangkar. Letak kraton-kraton sebagai pusat pemerintahan mengarah ke sisi utara. Bangunan lain yang biasanya didirikan di sisi barat alun-alun adalah tempat peribadatan, yakni masjid. Ciri penting lainnya sebuah kota masa lalu adalah adanya pasar. Di dalam kota biasanya ada lebih dari satu pasar dan letaknya tidak selalu dekat alun-alun.

Tata kota seperti masa lalu ataupun minimal mendekati Kawasan Monas, agaknya kini mulai ditinggalkan para pemilik kebijakan. Monas pun kini mulai dipagari yang berakibat makin sempitnya ruang bagi publik untuk bersosialisasi. Tak heran jika kini di setiap sudut Jakarta sudah padat oleh pemukiman, kawasan bisnis, pasar kaget, kumuh, kotor, dan sedikit sekali taman yang benar-benar berfungsi sebagai taman.

Jakarta yang terletak di dataran rendah, yang hanya beberapa meter dari permukaan laut, setiap tahun juga selalu dilanda banjir hingga ke jalan-jalan protokol. Sejak zaman Kerajaan Tarumanegara, Jakarta memang sudah menjadi langganan banjir. Seperti yang tertera dalam Prasasti Tugu, Jakarta Utara, yang kini disimpan di Museum Sejarah DKI Jakarta. Kerajaan ini, dengan rajanya Purnawarman, telah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati Tangerang) sepanjang 12 km untuk menanggulangi banjir.

Yang membanggakan, mereka melakukan penggalian sekitar 16 abad silam. Kebijakan pemukiman didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologi. Mereka melindungi kawasan hutan lindung dan resapan air di Kapuk Muara. Bandingkan dengan beberapa kawasan resapan air di Jakarta Selatan yang menurut Pemda DKI terlarang untuk gedung-gedung bertingkat dan industri, namun kini telah berubah fungsi.

Jakarta sebagai kota yang dinamis dan metropolis memang harus berkembang. Jakarta memang mutlak memerlukan berbagai sarana dan prasarana modern. Termasuk mal, kondominium, pusat-pusat perdagangan, dan tentu saja perumahan, dan gedung bertingkat. Namun, jika peninggalan-peninggalan bersejarah mulai dilupakan, jangan kecewa apabila suatu saat nanti kita kesulitan merekonstruksi sejarah kebudayaan, cara-cara hidup masyarakat masa lalu, dan menggambarkan proses budaya bangsa kita sendiri.(endro yuwanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar